Setiap babak kehidupan adalah kenangan. Menit – menit berlalu menyuguhkan cerita berharga. Masa lalu, kesederhanaan dan kearifan tak seharusnya terkubur begitu saja oleh modernisasi dan tekhnologi. Babak – babak berharga dalam kehidupan manusia seharusnya pantas untuk dikenang.
Maryono, pemuda asal Solo memiliki cara tersendiri untuk melawan lupa itu. Laporan pendangan mata tentang kesederhanaan hidup sehari – hari dan tradisi Jawa direkam dalam bentuk ukiran patung. Karya itu dinamakan Seni Liping, plesetan dari kata “living” dalam bahasa Inggris, yaitu cerita tentang kehidupan sehari – hari. Mengapa disebut Seni Liping, sederhana sekali ceritanya. Karena yang dibuat adalah tradisi Jawa dan karena kebanyakan orang Jawa zaman dahulu lebih enak dan mudah mengucapkan kata liping daripada living.
Dengan karya seni liping itu, Bejo Wage Suu begitu ia biasa disapa, ingin mengajak kita mengenang masa lalu yang penuh kesederhanaan, namun sarat dengan filosofi yang mempu membentuk karakter bangsa Indonesia, sabar, bersahaja dan bekerja keras. Bejo mencoba menciptakan media untuk mendekatkan budaya tradisional kepada generasi muda untuk dilestarikan agar tidak kehilangan citra diri bangsa. Rekaman kehidupan itu berbalik memberi babak kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi penemunya.

Pada awalnya lelaki kelahiran Sukoharjo, 29 Juli 1974 ini bekerja sebagai tukang las bubut. Namun, tiba – tiba ia terinspirasi untuk keluar dari pekerjaanya dan membuka usaha sendiri. Bejo kala itu, belum tahu apa yang akan ia buat untuk melanjutkan hidup. Ia kemudian mencoba membuat kerajinan tangan dalam bentuk ukiran huruf dan syair puisi dari kayu yang dijual di pinggir jalan dan kampus. Tetapi hasilnya tidak cukup untuk membiayai hidup istri dan dua anaknya. Saat tengah menjajakan dagangan itulah, inspirasi untuk membuat rekaman hidup dalam ukiran patung datang. Bejo Wage Suu menamai karya ciptaanya sebagai Seni Liping dan timnya yang terdiri dari beberapa orang itu dinamai JOPAJAPU. JOPAJAPU sendiri adalah sebuah isyarat dimana kala itu bangsa kita, masyarkat kita, iklim negeri ini, dan kehidupan sosial masyarakat kita masih sangat sederhana dan bersahabat.
Saat itu pada 1 Oktober 2002, Bejo prihatin melihat generasi muda yang sudah mulai merasa asing / aneh dengan tradisi atau kebiasaan sehari – hari masyarakat Jawa. Padahal menurut Bejo tradisi itu talah membesarkan dan membentuk karakter pola pikir orang tua mereka. Kebiasaan yang terlahir sebagai tradisi merupakan “warisan” daripada leluhur.
Dengan bahan olahan kayu pinus, Bejo terus bercerita tentang kehidupan keseharian masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Sebuah cita – cita akan angan – angan dari sekedar pemikiran sederhana yang akhirnya mampu memberikan kontribusi terhadap seni dan budaya daerah, yang menjadikan citra diri bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang plural dan berkepribadian.
JOPAJAPU memotret orang – orang desa yang sedang menimba air di sumur, menumbuk dan menampi gabah, naik becak dan naik motor, nelayan yang sedang menjala, ibu – ibu yang sedang jualan jamu dan membatik. Ada juga episode cerita sebuah keluarga di zaman dahulu yang sedang berkumpul, pentas tari tayup atau miniatur isi panggung dalang yang sedang mendalang lengkap dengan nayogo atau penabuh gamelan.
Memperkenalkan JOPAJAPU bukan perkara mudah karena seni liping terbilang masih asing. “Waktu kita mencoba utnuk berjualan di kampus, tidak ada yang merespon sama sekali”, kenangnya. Bejo menjajakan karyanya mulai dari pinggir trotoar hingga di bis – bis antar kota dengan harga Rp. 5000,-. “Tujuan saya memang ingin menyambung hidup”, katanya singkat.
Untunglah seni liping JOPAJAPU mendapat respon yang luar biasa melalui pameran. Dari usaha jalanan, Jopajapu mulai mengenal dunia pameran ketika tahun 2004 bertemu dengan Didik Jati Utomo dari Dinas Perindustrian Surakarta yang mengajaknya berpartisipasi dalam Festival Keraton Nusantara. Sejak saat itu Jopajapu makin yakin karyanya bisa mendapat tempat di masyarakat dan memanfaatkan pameran sebagai salah satu sarana promosi efektif. Dalam 1 tahun Bejo bisa berpartisipasi dalam 3 sampai 4 pameran. Setahun setelah mengikuti pameran pertama, tiga orang lagi bergabung dengan Jopajapu dan membantu menyelesaikan pesanan. Karena setelah itu Bejo kewalahan memenuhi permintaan pesanan. Harganya ikut naik mulai dari Rp. 25.000,- hingga jutaan rupiah. Dalam suatu kompetisi tingkat nasional, salah satu karyanya yang diberi judul Catur Mataram ( di kemudian hari menjadi satu karya yang fenomenalnya ). Bejo sukses meraih juara I Desain Craft Tingkat Nasional Tahun 2005. Setelah kompetisi tersebut pesanan pun semakin tak terbendung. Artis Wulan Guritno adalah salah satu pelanggannya. Bejo menggarap pesanan souvenir pernikahan Wulan Guritno sebanyak 1.500 buah.
JOPAJAPU terus memperbaiki diri. Jika pada awalnya masih berbentuk simpel dan minim, hanya membentuk miniatur orang, semakin lama JOPAJAPU berpikir untuk lebih mengedepankan inovasi. Semua ini demi kepuasan konsumen dan harga jual yang berimbang.
JOPAJAPU membuat pahatan yang lebih halus, detail bahkan fleksibel. Sendi siku – siku yang lentur pada kaki dan tangan yang dapat dilekukkan sehingga memberi kesan yang terlihat tidak kaku.
Dalam perkembangannya, bagian tangan pada patung JOPAJAPU diberi kawat supaya tidak mudah patah. Raut mukanya pun dibuat dengan bentuk tiga dimensi sehingga tampak lebih hidup. Patung – patung unik itu kini berdiri dengan manis, alas dari plat kuningan berlogo INDONESIAN LIFE STYLE.
Selain memanfaatkan limbah kayu, karya JOPAJAPU juga memanfaatkan limbah kain batik lawasan atau batik yang sudah tua. Langkah itu tidak sia – sia. Hingga kini JOPAJAPU denganproduk yang unik dan ide yang kreatif dapat diterima oleh masyarakat sebagai produk yang memiliki nilai seni dan budaya.